Sejarah Singkat Raja Lakidende (Sangia Ngginobu)
Raja lakidende adalah raja pertama Suku Tolaki yang memeluk agama Islam, dalam proses pengislaman ada lima orang yang menjadi tokoh pengislaman Raja Lakidende yaitu utusan dari Sultan Buton dari kepulauan Tiworo, nama-nama utusan dari Sultan tersebut adalah:
1. La Depi
2. La Goha
3. La Taripa
4. La Tepara
5. Wa Ode Ndoko
Dalam proses pelantikan Raja Lakidende menjadi seorang raja ada beberapa pemberontakan dikerajaan konawe yang dipimpin oleh Lamateleha dan Suramaindo dua adik kakak ini. Dua adik kakak tersebut meminta bantuan oleh raja Lakunta berada di daerah Luwu lalu mereka mendirikan suatu kerajaan tersendiri yang bernama kerajaan Lawata yang berkedudukan di Lawali , karena kegigihan kepemimpinan Raja Lakidende pemberontakan dapat dipadamkan.
Dalam sistem pemerintahan Raja Lakidende islam baruu resmi masuk di konawe. Sehingga ketika wafat Beliau dimakamkan secara islamik.
Sehingga masyarakat orang tolaki sekitar menyebutnya Sangia Ngginobu yang artinya Dewa yang dikuburkan karena dalam kepemimpinannya Beliau membawa perubahan di konawe, karena jauh sebelumnya orang-orang tolaki yang berada di konawe sebelum masuknya islam proses pengguburannya dengan cara mayat-mayat orang yang sudah meninggal dimasukkan dalam gua, nama gua tersebut adalah gua batu payung yang berada di kecamatan abuki kabupaten konawe, setelah mayat-mayat tersebut sudah menjadi tulang belulang, tulang-tulang tersebut dimasukkan dalam guci, dan guci tersebut terbagi dua yaitu guci keramik dan guci tanah liat, guci keramik adalah tempat penyimpanan tulang-tulang orang bangsawan sedangkan guci tanah liat adalah untuk masyarakat biasa dan guci-guci tersebut dimasukkan dalam gua batu payung itu kembali. Menurut hasil penelitian mahasiswa Arkeolog Makassar yang datang meneliti di gua tersebut tulang-tulang yang ada didalam gua tersebut bersekitar umur tulang-tulang tersebut 700-900 tahun.
Raja lakidende adalah bukan putra mahkota tetapi beliau diangkat sebagai raja karena Beliau masih keturunan Putra Raja, karena dalam sistem pemerintahan kerajaan konawe secara tradisional dan pembagian wilayah itu “Tiwole Bantohu dan Pituda Bate” kalau di daerah Buton dikatakan “Patamiana dan Siliombona”, arti dari Tiwole kalau dalam sistem orang tolaki ada sebuah talang yang tradisional yang terbuat dari anyaman yang mempunyai empat sudut dari Tiwole tersebut jadi sehingga pembagian wilayah tersebut ada empat sudut yang terdiri dari:
- Tambo Losoano Oleo- yang gelar pemimpinannya disebut tapati yang berkedudukan di daerah Ranomeeto kerajaan Laiwoi.
- Tambo Tepuliano Oleo- yang gelar pimpinannya disebut sabandara yang berkedudukan di Latoma
- Barataihana- yang gelar pimpinannya disebut ponggawa yang bernama ponggawa Karaeng Watukila. Karaeng Watukila adalah ponggawa terakhir yang berkedudukan di Tongauna.
- Barataimoeri
Ponggawa Karaeng Watukila adalah pahlawan yang melawan belanda, karena masuknya belanda pada tahun 1910 dikonawe, maka 1911-1912 terjadi pemberontakan masyarakat melawan Belanda yang diantaranya masyarakat yang melakukan pemberontakan adalah watukila sehingga beliau mendapat gelar Karaeng ketika pada masa pemberontakan masyarakat melawan Belanda beliau ditangkap oleh Belanda lalu beliau dibuang dan diasingkan di Makassar, ketika beliau diasingkan beliau watukila masih membawah pengawal sehingga orang makassar menamakan beliau Karaeng, sehingga sampai sekarang watukila dikenal sebagai Karaeng Watukila, dan makam Alm. Karaeng Watukila berada di kelurahan Tongauna kabupaten Konawe:
Isteri pertama Raja lakidende bernama Mowina, permaisuri Mowina ini putri daripada Lapaleadu dan saudara dari Mowina ini bernama Pakandeate yang digelarkan Anakia Ndamalaki yang berkedudukan di Angeburi. Dan makam dari istri pertama Raja lakidende bertampat di kelerahan Arombu.
Tetapi mengingat kedudukan Raja Lakidende bukan seorang keturunan dari Putra Mahkota kemudia beliau dikawinkannyalah lagi dengan Permaisuri Wahuka (Putri Abuki), istri kedua dari raja lakidende ini anak Maranai Putra Mahkota kerajaan Konawe, maka dikawinkannya sehingga kedudukannya menjadi raja dan menjadi putra mahkota. Makam dari istri kedua raja lakidende ini bersampingan dengan makam istri pertama raja lakidende.
Kerajaan konawe setelah kerajaan Lakidende wafat maka masyarakat tidak ada lagi menunjuk raja, dikembalikannya mahkota di abuki dalam hal ini kepada Tohamba yang makamnya sekarang berada di daerah Abuki bagian atas bukit abuki, Tohamba dimakamkan diatas bukit karena masyarakat muda untuk mengingat bahwa dia adalah putra mahkota yang tidak pernah dilantik. Ketika beliau dibawakan mahkota atau dilantik menjadi raja beliau menolak, penyebab beliau ini menolak pelantikan tersebut karena yang pertama beliau tidak memiliki dan kedua beliau tidak mempunyai kemampuan dalam hal ini ( harta) olehnya itu Tohamba ini menyingkir di Lawali, tetapi ketika beliau sudah sakit dan masa hidupnya sedikit lagi berakhir Tohamba ini kembali lagi diAbuki, dan beliau meninggal dan dimakamkan di atas bukit Tambaosu, maka beliau diberi gelar Tawi Tamba Osu.
0 komentar: