Muslimah Tidak Wajib Memakai Cadar!!!
Pendapat bahwa dalam Islam, hijab dalam arti cadar diwajibkan atas wanita, wajib mereka kenakan untuk menutupi wajah mereka kecuali kedua matanya, termasuk pendapat yang Islami. Pendapat tersebut telah dikemukakan oleh sebagian imam mujtahid dari berbagai mazhab yang ada. Sebaliknya, pernyataan bahwa cadar dalam Islam tidak diwajibkan atas wanita sehingga seorang Muslimah tidak wajib menutupi wajahnya secara mutlak karena wajah memang bukan aurat, juga merupakan pendapat yang Islami. Pendapat tersebut juga telah dikemukakan oleh sebagian pemuka mujtahid dari berbagai mazhab. Masalah ini merupakan salah satu masalah penting dalam interaksi antara pria dan wanita. Pengadobsian salah satu pendapat dari kedua pendapat tersebut akan mempengaruhi corak kehidupan Islami. Karena itu, harus dipaparkan dalil-dalil syara’ tentang masalah ini secara menyeluruh dengan mempelajari, mengkaji dan menerapkannya atas masalah tersebut. Sehingga kaum Muslim dapat mengadopsi pendapat yang paling kuat dalilnya. Begitu pula, Daulah Islamiyah akan dapat mengadopsi pendapat yang paling rajih didasarkan pada kekuatan dalilnya.
Wacana (perdebatan) diseputar wanita ini telah muncul sejak setengah abad yang lalu. Perdebatan tersebut dibangkitkan oleh kaum penjajah kafir di dalam jiwa orang-orang yang tertipu oleh Barat, terkooptasi oleh tsaqafah dan pandangan hidup Barat. Mereka yang telah terkooptasi itu berusaha untuk mengotori Islam dengan mamasukkan pendapat-pendapat yang tidak Islami. Mereka berupaya merusak pandangan hidup kaum Muslim. Mereka membuat-buat (mengungkit-ungkit) ide tentang hijab dan cadar. Namun para ulama pemikir tidak tampil membantah mereka. Mereka justru dihadapi oleh para penulis, sastrawan, dan para intelektual yang jumud. Hal itu justru semakin mengokohkan pendapat-pendapat-mereka yang telah terkooptasi oleh Barat itu. Ide-ide mereka malah dijadikan sebagai topik pembahasan dan diskusi, padahal ide-ide mereka itu merupakan ide- ide Barat yang sengaja dilontarkan untuk menyerang Islam, merusak kaum Muslim, serta menyebarluaskan keragu-raguan dalam diri kaum Muslim terhadap agama mereka.
Memang benar, perdebatan semacam itu pernah terjadi. Sisa- sisa dan pengaruhnya masih saja ada hingga kini. Akan tetapi, pembahasannya tidak sampai matang, juga tidak sampai pada level pembahasan yuristik (tasyrî’iy) dan tidak sampai menjadi pembahasan publik. Karena pembahasannya tiada lain adalah tentang hukum-hukum syara’ yang diistinbath oleh para mujtahid bersandar kepada dalil atau syubhah dalil (sesuatu yang dinilai sebagai dalil sementara hakikatnya bukanlah dalil). Pembahasannya bukan tentang pendapat para penulis, atau berbagai sebutan yang dibuat oleh orang-orang upahan, pemutarbalikan dalil oleh orang-orang yang tertipu ataupun omong kosong mereka yang sudah terkooptasi oleh tsaqafah barat. Sesuatu yang harus dijadikan obyek pembahasan adalah pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid yang mereka gali dari dalil-dalil syara’. Dan hal itu harus didiskusikan secara yuristik (tasyrî’iy). Berikutnya setelah pendapat para mujtahid itu, yang harus dijadikan obyek pembahasan adalah pendapat sebagian fukaha, para syaikh dan orang- orang yang fanatik terhadap cadar. Maka kami membahasnya untuk melenyapkan syubhat dari diri mereka.
Karena itulah kami akan memaparkan sejumlah pendapat para mujtahid beserta dalil-dalilnya, sehingga akan tampak pendapat yang rajih (lebih kuat). Siapa saja yang memandang pendapat tersebut sebagai pendapat yang rajih (lebih kuat) maka ia harus melaksanakannya sekaligus berjuang untuk mengimplementasikannya.
Orang-orang yang mengatakan wajibnya hijab (cadar) berpendapat bahwa aurat wanita yang meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan itu adalah di dalam shalat saja. Adapun di luar shalat mereka berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita termasuk wajah dan kedua telapak tangan, merupakan aurat. Mereka menyandarkan pendapat tersebut kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Adapun dalil dari al-Quran, Allah SWT berfirman:
“Jika kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), hendaklah kalian memintanya dari belakang tabir (hijab).” (TQS al-Ahzâb [33]: 53)
Ayat ini menjelaskan dengan gamblang wajibnya hijab atas wanita. Allah SWT juga berfirman:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)
Mereka mengatakan bahwa, makna yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna bermakna adalah hendaklah para wanita mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka dan menutupi wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka berpandangan bahwa, para wanita di masa permulaan Islam masih menjalankan kebiasaan mereka pada masa Jahiliah, yaitu terbiasa mengenakan pakaian sehari-hari di dalam rumah dan memakai kerudung, sehingga tidak ada perbedaan antara wanita merdeka dengan wanita hamba sahaya (budak). Para pemuda iseng suka mengganggu para budak wanita yang keluar malam hari hendak membuang hajat di bawah pohon kurma atau tempat-tempat biasa mereka buang hajat. Tidak jarang mereka juga mengganggu para wanita merdeka dengan alasan budak wanita, di mana mereka sering mengatakan, ‘kami kira, dia budak’.
Setelah itu, turunlah perintah kepada para wanita (merdeka) untuk membedakan diri dengan para wanita hamba sahaya dengan cara mengenakan baju kurung dan milhafah (semacam selimut) serta penutup kepala dan penutup wajah. Dengan pakaian semacam ini, mereka akan lebih terhormat dan disegani sehingga orang yang memiliki niat kurang baik pun tidak berani mengganggu mereka. Dengan pakaian seperti itu, mereka akan lebih mudah dikenali sehingga para lelaki iseng tidak mengganggu mereka atau berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai.
Di antara orang-orang yang berpendapat wajibnya cadar, ada yang mengatakan bahwa, kalimat “adnâ an yu‘rafna (lebih mudah dikenali)” pada ayat di atas ada kata lâ yang mahdzûfah (disembunyikan). Yaitu yang demikian itu lebih baik agar mereka tidak dikenali cantik atau tidak, sehingga mereka tidak diganggu. Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 33)
Mereka mengatakan bahwa perintah Allah kepada para wanita agar tetap di rumah mereka merupakan dalil wajibnya hijab (cadar).
Sedangkan dalil dari as-Sunnah, adalah apa yang telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa Beliau telah bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian para wanita memiliki mukâtab (budak laki-laki yang akan menebus dirinya sendiri) dan ia telah memiliki harta yang akan dibayarkan, hendaklah wanita itu berhijab dari budak laki-laki itu.” (HR Tirmidzî dari jalur Ummu Salamah).
Selain itu, telah diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia menuturkan:
“Aku pernah duduk di sisi Nabi SAW, Aku dan Maimunah. Lalu Ibn Ummi Maktum meminta izin. Maka Nabi saw. bersabda, “berhijablah kalian darinya.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya dia buta, tidak bisa melihat.” Beliau bersabda, “Apakah kalian berdua juga buta dan tidak melihatnya?”(HR Abû Dâwud).
Juga karena imam Al-Bukhârî telah meriwayatkan dari Abdullah ibn ‘Abbâs RA, ia berkata:
“Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.”
Dan dari Jarîr bin ‘Abdullâh RA, ia menuturkan:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja). Maka Beliau menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.” (HR Muslim).
Dan dari ‘Alî RA, ia berkata: “Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepadaku :
“Janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena pandangan pertama adalah untukmu, sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu” (HR Ahmad, dari jalur Buraidah).
Inilah dalil-dalil yang dikemukakan oleh mereka yang berpendapat wajibnya hijab (cadar), dan mereka yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Dalil-dalil tersebut seluruhnya tidak relevan dengan permasalahan yang hendak mereka kemukakan dalilnya. Karena seluruh dalil tersebut tidak berkaitan dengan topik ini. Adapun ayat hijab dan ayat “Waqarna fî buyûtikunna –Hendaklah kamu tetap di rumahmu (TQS al-Ahzâb [33]: 33)–, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kaum Muslimah secara keseluruhan. Kedua ayat tersebut dikhususkan bagi isteri-isteri Rasulullah saw. Ayat hijab sangat gamblang bahwa ayat tersebut khusus untuk isteri Rasul SAW. Hal itu jelas dari ayat itu sendiri jika dibaca secara lengkap. Ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang satu bagian saling berkaitan dengan bagian yang lain baik secara lafazh maupun makna. Nash ayat tersebut adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (TQS al-Ahzâb [33]: 53)
Ayat tersebut dinyatakan tentang isteri-isteri Nabi dan khusus bagi mereka; tidak ada hubungannya dengan kaum Muslimah atau wanita mana pun selain isteri-isteri Nabi SAW. Yang memperkuat bahwa ayat tersebut khusus ditujukan bagi isteri-isteri Rasul SAW adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia menuturkan:
“Aku sedang makan bersama Nabi SAW dalam sebuah mangkuk ceper dan besar. Lalu ‘Umar lewat. Maka Nabi pun memanggilnya lalu ia pun ikut makan. Jari-jemarinya menyentuh jari-jemariku. Maka ‘Umar lantas berkata, “Ah, andai saja ditaati, niscaya tidak satu mata pun yang akan memandang kalian (isteri-isteri Nabi).” Setelah itu, turunlah ayat mengenai hijab.” (HR al-Bukhârî).
Juga diriwayatkan bahwa ‘Umar RA pernah berjalan melewati isteri-isteri Nabi SAW dan mereka sedang bersama dengan kaum Muslimah lain di Masjid. ‘Umar lantas berkata: “Andai saja kalian isteri- isteri Nabi SAW mengenakan hijab niscaya kalian lebih utama atas kaum wanita lainnya, sebagaimana suami kalian lebih utama dari semua pria)”. Zaynab RA kemudian menimpali: “Wahai Ibn al-Khaththâb, sesungguhnya engkau telah tertipu atas (urusan) kami, sedangkan wahyu turun di rumah-rumah kami.” Tidak lama kemudian, turunlah ayat tentang hijab. (HR Thabrâni).
Teks ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan secara pasti bahwa ayat hijab ditujukan kepada isteri-isteri Nabi SAW dan tidak diperuntukkan bagi kaum Muslimah lainnya.
Adapun ayat, “Waqarna fî buyûtikunna (Hendaklah kamu tetap tinggal di rumahmu), maka ayat ini juga khusus ditujukan kepada isteri- isteri Rasul SAW. Teks ayat ini selengkapnya adalah:
“Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepadanya dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat pada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (TQS al-Ahzâb [33]: 30-33).
Inti ayat ini jelas ditujukan kepada isteri-isteri Nabi SAW dankhusus untuk mereka, karena seruannya hanya ditujukan kepada isteri-isteri Nabi SAW. Juga karena adanya takhshîsh (pengkhususan) terhadap mereka “Yâ nisâ’ an-Nabî, lastunna ka ahadin min an-nisâ’” (Hai isteri- isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain). Tidak ada sesuatu yang lebih jelas dan gamblang dari teks ini yang menunjukkan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan isteri-isteri Rasul SAW. Allah SWT juga berfirman:
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” (TQS al-Ahzâb [33]: 33).
Ayat ini yang mereka jadikan hujah adalah khusus ditujukan kepada isteri-isteri Rasul SAW. Hal itu diperkuat oleh ayat setelahnya. Setelah firman-Nya “tazhhîran (sebersih-bersihnya) langsung dilanjutkan dengan firman-Nya:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (TQS al-Ahzâb [33]: 34).
Ayat ini mengingatkan isteri-isteri Rasul SAW bahwa rumah- rumah mereka merupakan tempat turunnya wahyu. Dan ayat ini memerintahkan isteri-isteri Rasul SAW agar tidak melupakan apa yang dibaca di dalam rumah mereka dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua ayat di atas jelas sekali ditujukan bagi isteri-isteri Nabi SAW dan hanya khusus untuk mereka. Tidak ada satu petunjuk pun di dalam keduanya bahwa ketetapan hukumnya juga berlaku bagi para wanita Muslimah yang lain selain mereka. Tambahan lagi, juga terdapat ayat-ayat lain yang ditujukan secara khusus bagi isteri-isteri Rasulullah SAW. Misalnya, firman Allah SWT:
“….Tidak pula kalian mengawini isteri-isterinya selamanya setelah ia wafat.” (TQS al-Ahzâb [33]: 53).
Jadi, isteri-isteri Nabi SAW tidak boleh menikah setelah beliau wafat. Ketentuan tersebut berbeda dengan para wanita Muslimah lainnya, karena mereka boleh menikah lagi setelah suaminya meninggal. Dengan demikian, kedua ayat mengenai hijab tersebut khusus ditujukan bagi isteri-isteri Nabi SAW sebagaimana pengharaman bagi mereka untuk menikah setelah beliau wafat.
Dalam konteks ini tidak bisa dikatakan bahwa walaupun sebab turunnya ayat tersebut adalah isteri-isteri Rasul SAW, namun ayat tersebut berlaku umum untuk mereka dan wanita-wanita muslimah selain mereka. Tidak bisa dikatakan demikian. Karena sabab an-nuzûl (sebab turunnya) ayat adalah peristiwa yang terjadi, lalu menjadi sebab turunnya ayat. Sementara dalam ayat tersebut, isteri-isteri Nabi SAW bukanlah ‘peristiwa’ yang terjadi. Ayat tersebut tidak lain merupakan nash spesifik yang datang ditujukan untuk orang-orang yang spesifik pula. Ayat tersebut menyatakan pribadi-pribadi mereka. Allah SWT berfirman:
“Wahai isteri-isteri Nabi, kalian berbeda dengan wanita yang lain.” (TQS al-Ahzâb [33]: 32)
“Apabila kalian hendak meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi saw).” (TQS al-Ahzâb [33]: 53)
Hal itu mengisyaratkan adanya illat (sebab) hijab mereka (isteri- isteri Rasul SAW). Semua itu menentukan bahwa kedua ayat hijab tersebut merupakan nash yang datang khusus bagi isteri-isteri Rasul SAW. Dengan demikian, kaidah, al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (Ibrah itu sesuai dengan keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab), tidak dapat diterapkan di sini.
Demikian pula tidak bisa dikatakan di sini bahwa seruan kepada isteri-isteri Rasul juga merupakan seruan bagi para wanita Muslimah lainnya. Sebab, kaedah “seruan kepada individu tertentu juga merupakan seruan kepada seluruh kaum Mukmin”, hanya khusus untuk seruan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kaedah tersebut tidak mencakup seruan kepada isteri-isteri beliau. Jadi, seruan kepada Rasulullah SAW juga merupakan seruan kepada kaum Mukmin seluruhnya. Sedangkan seruan kepada isteri-isteri Nabi SAW adalah khusus untuk mereka saja. Sebab, Rasulullah SAW merupakan sosok yang wajib dijadikan teladan dalam setiap ucapan, perbuatan, ataupun diam persetujuan beliau, selama tidak termasuk kekhususan bagi beliau. Sedangkan isteri-isteri Rasul SAW bukan obyek yang wajib dijadikan teladan. Karena Allah SWT telah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian.” (TQS al-Ahzâb [33]: 21)
Isteri-isteri Rasul SAW tidak boleh dijadikan teladan yang wajib diikuti. Dalam arti melakukan suatu perbuatan dikarenakan mereka melakukannya, atau menghiasi diri dengan satu sifat dikarenakan mereka menghiasi diri dengan sifat tersebut. Akan tetapi peneladanan itu hanya khusus terhadap Rasul SAW karena beliau tidak mengikuti melainkan hanya wahyu.
Begitu juga tidak bisa dikatakan bahwa, jika isteri-isteri Rasulullah SAW yang terjaga kesuciannya dan di rumah-rumah mereka dibacakan wahyu, mereka saja dituntut mengenakan hijab, maka wanita-wanita Muslimah selain mereka lebih utama lagi dituntut mengenakan hijab. Pendapat semacam ini tidak dapat diterima karena dua alasan:
Pertama, masalahnya bukan masalah sesuatu yang lebih utama. Sebab, persoalan sesuatu yang lebih utama (min bâb al-awlâ) adalah bahwa Allah SWT melarang sesuatu yang kecil, maka larangan terhadap sesuatu yang lebih besar tentu lebih utama lagi. Seperti firman Allah SWT:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan “Ah!” (TQS al-Isrâ’ [17]: 23)
Maka jika mengucapkan perkataan “Ah!” saja dilarang, tentu lebih utama lagi untuk tidak memukul keduanya. Sesuatu yang lebih utama itu juga bisa dipahami dari konteks pembicaraan, seperti firman Allah SWT:
“Di antara Ahlul Kitab, ada orang yang jika mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu. Dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mmpercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu.” (TQS Ali ‘Imrân [3]: 75)
Dalam konteks yang pertama, mengembalikan harta yang lebihbanyak lagi tentu lebih dia utamakan; sementara dalam konteks yang kedua, ia tentu tidak akan mengembalikan harta yang lebih dari satu dinar. Ayat tentang kawajiban mengenakan hijab tidak termasuk dalam konteks min bâb al-ûlâ (sesuatu yang lebih utama) ini. Karena konteks pembicaraan pada ayat tersebut hanya ditujukan kepada isteri-isteri Nabi SAW dan tidak menunjukkan pengertian yang lain. Kata nisâ an- Nabî (isteri-isteri Nabi SAW) bukanlah sifat yang bisa diambil mafhumnya (washfan mufahhaman) sehingga tidak dapat tarik pemahaman bahwa selain isteri-isteri Nabi SAW adalah lebih utama (untuk mengenakan hijab, pen). Sebaliknya, kata tersebut merupakan ism jâmid sehingga tidak bisa memiliki mafhum (pengertian) lain. Jadi pembicaraan ayat tersebut adalah khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nash, tidak melebar kepada sesuatu yang lain dan tidak memiliki pemahaman yang lain. Di dalam ayat tersebut juga tidak terdapat masalah min bâb al-ûlâ (sesuatu yang lebih utama) sama sekali, baik ditinjau dari lafazh maupun konteksnya.
Kedua, kedua ayat tersebut merupakan perintah yang ditujukan secara khusus kepada individu-individu tertentu yang telah disebutkan sosoknya dan disifati dengan sifat-sifat tertentu. Sehingga perintah tersebut bukanlah perintah bagi siapa pun selain mereka, baik orang yang derajatnya lebih tinggi atau pun yang lebih rendah daripada mereka. Sebab, perintah tersebut telah disifati dengan sifat-sifat yang spesifik dan itu yang dikhususkan bagi orang-orang tertentu pula. Jadi, perintah dalam kedua ayat tersebut merupakan perintah bagi isteri- isteri Rasul SAW dalam kapasitas mereka sebagai isteri-isteri Rasul SAW, karena mereka tidak sama dengan wanita yang lain. Selain itu, interaksi para sahabat dengan isteri-isteri Rasul SAW tanpa ada hijab akan mengganggu Rasul SAW.
Dari semua paparan sebelumnya, sudah dibuktikan bahwakaidah al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâbi khushûsh as-sabab (Ibrah itu bergantung kepada keumuman lafazh dan tidak bergantung kepada kekhususan sebab) tidak bisa diterapkan dan tidak relevan dengan topik ini. Juga sudah dibuktikan tidak adanya kewajiban untuk meneladani isteri-isteri Rasul SAW. Disamping telah dinafikannya keberadaan wanita-wanita muslimah selain isteri-isteri Rasul SAW lebih utama untuk mengenakan hijab. Dan sebaliknya sudah dibuktikan bahwa nash hijab di atas secara qath’i adalah untuk isteri-isteri Rasul SAW. Juga sudah dibuktikan bahwa kedua ayat di atas adalah khusus hanya berkenaan dengan isteri-isteri Rasul SAW saja, dan secara mutlak tidak mencakup wanita-wanita muslimah yang lain, dilihat dari sisi manapun.
Dengan semua itu, maka terbukti bahwa kewajiban menghenakan hijab adalah khusus untuk isteri-isteri Rasul SAW. Begitu pula perintah untuk tetap tinggal di rumah, juga khusus untuk isteri- isteri Rasul SAW. Juga terbukti bahwa kedua ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil bahwa hijab (mengenakan cadar) telah disyariatkan untuk wanita-wanita muslimah.
Selanjutnya, mengenai ayat kedua yaitu firman Allah SWT:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb [33]: 59)
Ayat tersebut dilihat dari sisi manapun sama sekali tidak menunjukkan kepada (kewajiban) menutup wajah, baik secara tekstual (manthûq) maupun secara kontekstual (mafhûm). Di dalamnya tidak terdapat satu lafazh pun, baik secara lepas maupun integral di dalam kalimat, yang menunjukkan kewajiban menutup wajah, berdasarkan asumsi sahihnya sabab an-nuzûl. Ayat tersebut mengatakan “yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna”, maknanya adalah hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Kata min dalam ayat ini bukan untuk menunjukkan sebagian (li at-tab‘îdh), melainkan untuk menunjukkan penjelasan (li al-bayân), yakni “yurkhîna ‘alayhinna jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka)”. Arti kata adnâ as-satr adalah arkhâhu (mengulurkannya hingga ke bawah). Adnâ ats-tsawb (menurunkan pakaian) maknanya adalah arkhâhu (mengulurkan pakaian itu sampai ke bawah). Dan makna yudnîna adalah yurkhîna (mengulurkan sampai ke bawah).
Sementara itu, yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (semacam mantel atau jubah) dan apa saja yang digunakan menutupi tubuh seperti kisâ’ (jubah) atau yang lain. Atau jilbab itu adalah ats- tsawb (pakaian) yang dapat menutupi seluruh tubuh. Di dalam Kamus al-Muhîth dinyatakan:
- Jilbab itu adalah seperti sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita tanpa baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.
Sedangkan dalam Kamus ash-Shihhâh, al-Jawhârî menyatakan:
Jilbab adalah milhâfah (mantel/jubah) dan yang sering disebut mulâ’ah (baju kurung).
Di dalam hadits kata jilbâb dinyatakan dalam makna al-mulâ’ah (baju kurung) yang dikenakan oleh wanita sebagai penutup di sebelah luar pakaian kesehariannya di dalam rumah. Dari Ummu ‘Athiyah RA, ia berkata:
“Rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan para wanita, yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita-wanita yang sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Wanita-wanita yang sedang haid, mereka memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum Muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR Muslim).
Artinya, wanita tersebut tidak memiliki pakaian (baca: jilbab) yang akan dikenakan di sebelah luar pakaian kesehariannya, dalam rangka keluar rumah. Maka Rasul SAW memerintahkan agar saudaranya meminjaminya pakaian yang akan dia kenakan di sebelah luar pakaian keseharaiannya. Dengan demikian, makna ayat di atas adalah: bahwa Allah SWT telah meminta Rasul SAW agar mengatakan kepada isteri-isteri dan anak-anak wanita beliau serta isteri-isteri kaum Mukmin supaya mereka mengulurkan hingga ke bawah pakaian yang mereka kenakan di sebelah luar pakaian keseharian. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibn ’Abbâs RA bahwa ia berkata: jilbab adalah ar-ridâ’ (pakaian) yang menutupi (pakaian keseharian wanita) dari atas sampai ke bawah. Ayat tersebut menunjukkan perintah agar mengulurkan jilbab, yaitu pakaian yang longgar, hingga ke bawah. Ayat tersebut tidak menunjukkan makna yang lain.
Jika demikian halnya, dari mana bisa dipahami bahwa kalimat yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna bermakna hendaklah mereka menjadikan pakaiannya menutupi wajah mereka? Betapapun lafazh yudnîna dan jilbâb ditafsirkan berdasarkan batas-batas pengertian bahasa maupun syariah, tetap tidak bisa ditafsirkan agar wanita menutupi wajah? Akan tetapi ayat tersebut justru menyatakan tentang mengulurkan pakaian (irkhâ’ ats-tsiyâb). Mengulurkan (irkhâ’)-nya adalah ke bawah, dan bukan mengangkatnya ke atas. Atas dasar ini, di dalam ayat tersebut tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan, baik dari dekat ataupun dari jauh, atas keharusan mengenakan hijab atau cadar. Wallahu a’lam....
0 komentar: