Naskah Monolog "A L I B I"
By
Unknown
NASKAH DRAMA
0
komentar
Naskah Monolog
A L I B I
S. Jai
Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan
antara kepentingan pribadi dan masyarakat.
Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan
anggota keluarganya bukan hasil korupsi.
MALAM HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU
BESAR MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA
SAJA. DI ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH
DARI LANGIT. MENGGENGGAM SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN
KURSI MALAS. SEPASANG SEPATU. BEBERAPA BAJU TERGANTUNG DI KAPSTOK DEKAT PINTU.
BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.
LAMPU FADE IN PANGGUNG KANAN. SUASANA TEGANG MENCEKAM. SESEORANG MEMAINKAN
SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA SAMUDERA. SULUK AMUK. SENANDUNG
MERONTA.
SESEORANG: (SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian.
Tapi sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk
kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa
dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena
kusengaja, tapi ia menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa
permisi.
SESEORANG: Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup
pintu kuat-kuat.
SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk?
SESEORANG: Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu
dipaku.
SESEORANG: Atau keluar dulu baru masuk.
SESEORANG: Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?
SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali.
SESEORANG: Ya, begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di
dalam.
SESEORANG: (SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor
justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah
bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah
berdiri hadir persis di depanku.
BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR MENGANGKAT TUBUHNYA
SESEORANG: Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu,
bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti
aku berada di alam nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini.
Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu
betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit
ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku.
Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi.
Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada
kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di
alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang
yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.
SADAR DARI AMUK. MELOMPAT. MEMBERSIHKAN TUBUHNYA.
SESEORANG: Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap
malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku
hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang makin
kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut
misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh
lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya?
MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI. MEMERIKSA PINTU.
SESEORANG: Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di
luar sana saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba
cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam
saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya
berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti
istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala
kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu
saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di
ruangan yang sempit ini. Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang
serba sempit ini. Karena inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku
sudah amat bersyukur karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal
sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak
melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi
aku rasa cukup aman untuk sementara aku sembunyi dari orang-orang jahat itu.
Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan
buldozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa
sepasang mata apalagi mata hati nurani.
MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU
SESEORANG: Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang
meraung-raung. Jadi benar-benar untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan
seperti itu. Ya, kadang-kadang ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan
bila malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk
rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya, lantas
pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari
buldozer yang saat itu malu-malu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya
sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela
diri. Kasihan ya, buldozer itu.
TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN.
SESEORANG: Apa? Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih
boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa
itu sama artinya dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat
dengan suatu kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi
daripada kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun
demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang
amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia
tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang
bisa anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam
dongeng. Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut
yang amat sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu
sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama.
Paling-paling isinya kotbah moral untuk anak-anak bila tak memilih hitam
berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit
rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah.
Anak-anak tidak tahu bahwa dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik,
tapi juga miring oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan
depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia
pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak.
Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar
dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang
berdiri gagah di depan ini. Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan
tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana,
karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari
pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita
punya: nyali, keberanian.
KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI LAYAR
SESEORANG: Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun
untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus
diselidiki dulu, siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya?
Pesanku kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun.
Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya,
biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak
baik. Tapi itu pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan
tampak muka begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan
dikira, pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru
menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini
aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan
apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah
dirampok olehnya. Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya,
pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola
kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku
bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku
berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak
dalam keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun
oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan
apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi
bukan.
SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS. KEPADA DIRINYA SENDIRI.
SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku.
Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku
sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan
apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun
terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini
aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain dalam tubuhku yang membisikkan
suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu? Pertanyaan itupun
tak pernah kutemukan jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi
dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di
luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya.
Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku juga tidak jadi lebih pintar dari
kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih
baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, Aku juga tidak lebih kaya dari
kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa aku ini? Seperti ini, yang
kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa yang membujuk aku sehingga
begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih,
jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya
antara aku dengan setan?
KEPADA PENONTON
SESEORANG: Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti.
Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir
di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan
menunggu di luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini
tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku.
Silakan-silakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang
juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk
masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena
yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai.
Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak
ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis
dengan kenyataannya.
DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU BERTUBI-TUBI
SESEORANG: Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar
sedikit dong. Sssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura
sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu
untuk tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benar-benar mewujudkan niatnya:
Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu
sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya.
Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku.
Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri
dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk
aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara
homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah mencapai titik
klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan,
maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa,
takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba bayangkan bila orang
biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa.
Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apa-apa
hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa
gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh, lagi-lagi
gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa,
apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada pengalaman tapi
sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah:
Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia itu makan-makanan
empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu muncul, aku ingin
memulai mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira
dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu airnya. Sruputttt…..
MENOLEH KE LUKISAN BESAR SEBENTUK LAYAR. PANGGUNG MULAI MENYATU
SESEORANG: Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi
baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani
berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu,
aku akan katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan
diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain
yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani
berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang
membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga.
Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya
anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan
keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena
ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat
kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau
sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku,
itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing
dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu
saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan
anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini
anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah
ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak
kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur?
Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak
dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar
makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya
sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh
cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.
PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS MIMPI - KENYATAAN
SESEORANG: Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini
sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau
bukan aku yang bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang
membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik
orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi
masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang
dengan senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut
dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa
banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya,
atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah
lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini
sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah
tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang
aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah
berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan
maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia
setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah
memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa,
masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga
tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak
masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat
masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari
pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru.
Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan
satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan.
Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih
dulu memvonis aku orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu
jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan
aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku
tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak
pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti
tak ada seorangpun lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik
membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan
diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang
menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima
segebok uang. Lalu, dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan
mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagasan-gagasannya itu berguna untuk
orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang
harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perut besarnya.
Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia.
TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS.
DITANGKAP. DIMAINKANNYA DARI SISI PANGGUNG SATU KE SISI PANGGUNG LAIN.
SESEORANG: Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku
tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku
jadi bisa berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan
maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku.
Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku
umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan
masalah pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini
termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali
masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab
oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah
masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian
kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena
mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga.
Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu
aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di
tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat
kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata
para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan
pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini.
Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya.
SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA
SESEORANG: Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa
dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata
tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara
tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu
nylonong saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang
begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu
kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah
ada petugasnya. Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan
yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya,
bersenjata? Masak yang begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah
jelas dan maaf itu yang amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa
paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah
pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk
bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran
manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada
mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di
kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula.
MELEMPAR BOLA TINGGI-TINGGI. LALU SIBUK MENCARI KERTAS-KERTAS. MEMBACA.
SESEORANG: Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini.
Dusun Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus
pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging
manusia. Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah
digali itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu
terjadi menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan
yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah
bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu
sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat
atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus
Susianto Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada
orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu
semula diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5
kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan
pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh.
Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di
Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan
pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud
tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari
Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang
bersangkutan tengah memainkan tulang-belulang yang baru ditemukan itu. Mulanya
warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak
diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke
polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain
bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang
belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar
kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus
melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian
tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan
tidak ada di tempat.
GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.
SESEORANG: Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak
tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah
dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling
bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri
mayat itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak
berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk
membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya
mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak
berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa
yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada
seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap
orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk
melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk
menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului
daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah
pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk
membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut
perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa,
tanpa sempat berpikir, tiba-tiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau
balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau
sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua
orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang.
Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan
satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup
pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui
dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit
demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?
MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK
SESEORANG: Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak
kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih
filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang
menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak
orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun
sebenarnya ini hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang
terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu
anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja.
Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani
duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak
pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi
yang kumiliki dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk
duduk. Kalau aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi
hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya.
Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah
demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia
tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa
yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di
kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku.
Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku
taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang
pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di
kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa
mengguncangkan jagad. Yang benar saja!
MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU PENA DITANCAPKAN DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA
SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih tajam dari
sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda.
Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparaan jadi
gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa
percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya hanyalah pedang.
Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan?
Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegub
kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol
besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk
kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahun-tahun untuk
melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku tak
sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku
tak bisa. Mula-mula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat.
Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi
pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia
pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu
menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai
ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi
semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia.
Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku
tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?
TERTAWA NGAKAK
SESEORANG: Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah
jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku.
Kalau hanya sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa
lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari
tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku
sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang
tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun
milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi.
TERCENUNG
SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak
korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku
mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang
kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri
dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka
jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini
koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan
mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian,
betapa dunia ini sungguh kejaammm.
TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI
SESEORANG: Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri
dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga,
negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor
hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai
fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat
mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas
jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30
tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias
menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu
tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam
sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja
daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi
orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi
atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah
rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan
anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya
untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba
seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia
pun berkata “He asu! Minggir!” Aku katakan binatang itu bukan asu tapi kambing.
Baru kemudian ia mengulang perkataannya “He kambing, minggat!” Anehnya, suatu
hari tanpa perasaan apa-apa becak yang saat itu kududuki, pada hari lain sudah
ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak
itu tetap saja berteriak “He, asu!!!!”
TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS MENANGIS.
SESEORANG: Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran
dan keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam
istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi.
Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban
karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang
demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk
menghasut melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret
dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan
diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa
melakukannya terhadap anda sendiri.
LAMPU BLACK OUT
BAGIAN KEDUA
MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN. LAMPU FADE IN. NYANYIAN FADE OUT. PANGGUNG
SISI KANAN SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK PISANG. MEMELUKNYA. MENGENDARAINYA.
MENGAJAKNYA BICARA. BERGANTIAN.
SESEORANG: (SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman
pembunuhan siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu
membunuh. Tapi di sini bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman
pembunuhan.
SESEORANG: (SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu
berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan
anaknya. Bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta?
SESEORANG: (SULUK) Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan
negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan
isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang
juga membabi buta.
MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN
SESEORANG: Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan
Tuhan, manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan.
Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan
memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa
manusia. Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri , bagaimana
pembunuhan, saling bunuh itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu
dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di luar kuasa manusia. Aku menarik nafas
panjang dan dalam, sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga
dalam tubuh aku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di
luar batas kemanusiaan? Mana yang benar?
SESEORANG: Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi
soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang
lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.
SESEORANG: Apa pendapatmu tentang bunuh diri?
SESEORANG: Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini,
sepanjang belum menemui jalan baru.
SESEORANG: Begitu?
SESEORANG: Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara
menjadi pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.
SESEORANG: Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran,
keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita
jangan lagi bicara kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti
sebagaimana sekarang ini.
SESEORANG: Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau
dibunuh, sama-sama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.
SESEORANG: Kamu belum jawab pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?
MEMBUNGKUK KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.
SESEORANG: Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya
menggelisahkan apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan
semuanya, juga pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang
kehidupan yang hanya itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung
merosot karena kamu kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai
cara—ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu
atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup.
Kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong
kosong. Jikapun kamu ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi
pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk
meyakininya. Lalu bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling
bunuh diantara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya
memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu
hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang
telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih
dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.
TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN TERJENGKANG.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau
disebut pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.
SESEORANG: Tidak aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.
SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi aku?
SESEORANG: Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.
SESEORANG: Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu
orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi
untuk bunuh diri.
SESEORANG: Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.
SESEORANG: Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu
lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang
kemudian kunjung sanggup membunuhnya?
SESEORANG: Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang
punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup
waras.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat
untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.
SESEORANG: Lalu dimana kamu berada
SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?
MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN DIRI DARI SEGALA BEBAN.
SESEORANG: (SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa
lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih
menakutkan dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp
konsentrasi Jerman.
MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG BERNOSTALGIA
SESEORANG: Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah
mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan
gamblang di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur
pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari
tiba. Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang
mimpi itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih
berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku.
Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau
lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku
juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku
sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai
anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi
itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu.
Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku
dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari
mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di
dalamnya.
Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang
mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun
dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur
juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tidak
sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan memang punya jantung dan
hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran atau tidak. Punya
kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam
sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi
tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang
sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam
sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti
sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri.
Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya
sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tak ada teror urusan hidup
mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Tidak ada.
Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang
bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar
mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa
mimpi—barangkali begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang
tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi
karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di
layar TV. Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak
awal dan jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia
selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan
adalah waktu untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting
sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia
juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk
matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin
seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau
bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa
mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu
kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang
menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam
sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah
pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada
apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup
setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali
tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup kalau penuh
ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit
dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.
Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda
lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian
hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu?
Bedanya aku hanya diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak
memperkenalkan kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja
kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari.
Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku
sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang
membunuh orang dengan senapan meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa
klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela
menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan
hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi orang mencari hidup. Namun pernah
pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung
stateskop di lehernya, sembari mengucapkan “maafkan saya, saya sudah berusaha
sebisa mungkin” kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah
sakit. Ya, meskipun yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak
untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.
SESUATU TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI
SESEORANG: Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang
tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku.
Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai
sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai.
Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini.
Tahukah Anda siapa salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan
dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana
dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya
pengadilan yang paling ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu
keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan
pada sesi berikutnya.
MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN
SESEORANG: Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku
benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan.
Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong
kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada
pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat
menerapkan pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan
pembelaanku.
MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.
SESEORANG: Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik
kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra,
mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula
saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi
budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal
dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami
saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian
hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup
sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas
lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok
yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya
maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu,
apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya
sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada
seperti ini
BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA PENUH BEKAS LUKA
SESEORANG: Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau
saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku!
Tapi saya harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak
cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya perlihatkan
pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk
minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi
semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan
sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan
kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Jadi saya
harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi
proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu
budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci,
si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang? Syukurlah
permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.
MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE RUANGAN SEBELAH.
SESEORANG: Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang
kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu
tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan
ngintip, ah.
BERGEGAS MENDEKATI PINTU. MENYAMBAR BAJU DAN SEPATU. MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT.
LALU BERSIAP PERGI.
SESEORANG: Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu
bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan
sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di
luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada
orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak
ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya
dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak
saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma
Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan
anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi
keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah,
saya harus hentikan sementara ocehan saya.
LAMPU BLACK OUT.
BAGIAN KETIGA
LAMPU FADE IN. DI PANGGUNG SISI KANAN BERDIRI SESEORANG MENGENAKAN SERAGAM
KANTOR. LENGKAP DENGAN SEPATU DAN DASI.
SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya,
kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul
dengan panggilan itu. Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya
memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana
arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi
apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama
saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya
juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim.
Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga
dengan saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya
sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan.
Hukum bisa diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi
target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya
betul-betul percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain
sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya
sendiri yang akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun
pembuktian saya, oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah
keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anak-istri anda juga tenang
di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.
SESEORANG: Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat
mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah
perintahnya dan saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu
ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu
memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas
merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak
memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada.
Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari
kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri
negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu
sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak
merasa memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini
anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya,
bagaimana bila ibu saya tiada.
MENUTUP MULUTNYA
SESEORANG: Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan
ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang
mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu
jelas, biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran
di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi
mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan
kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang
langka, tapi jadi tidak aneh setidak-tidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya
begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya.
Ketika saya memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah
yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan
sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya,
anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini,
yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar
menjadi anak ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma
kata-kata, buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak
memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari
ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat
saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu
ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata
membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu.
Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya
kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu
tapi bangga. Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian
saya sekarang. Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan
orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban
dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis jawa.
SESEORANG: Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan “malu
dengan bangga.” Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para
penguasa atasan saya yang sungguh “bangga dengan kemaluannya.” Mereka-mereka
seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila
kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya,
tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.
SENTIMENTIL
SESEORANG: Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya
seorang gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan
keberadaan istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya
bawakan itu perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya
ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan
adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset
lagu-lagu Jawa Didi Kempot, kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi
Kempot itu, (menyanyi). Sri kapan kowe bali. Lungamu ora pamit aku. Jarene
menyang pasar pamit tuku trasi, tapi kowe lungo ora bali…Ndang balio Sri, ndang
baliooo… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan saya itu menyanyi lagu lain..
ndang mlumaho Sri, ndangmlumahoo.
SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan
bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma
alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah
atasan saya. Karena itu maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan
saya ini kurang menjiwai dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah
baiknya menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa
atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan
hanya melakukan kejahatan terhadap negara apalagi terhadap keluarga saya.
Karena itu saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya,
saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.
MELEPAS SEPATU. JADI BOTOL MINUMAN KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.
SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini yang mewakili
dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan
otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari
segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban:
Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan
sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk membedakan antara
kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan.
Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling
menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah
manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk
memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit
jawaban untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat
Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk
bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan,
Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk
menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin
yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin
yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa saya
katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu
ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian
semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga
dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah
gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab
suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi
kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu.
Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat
manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan
banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan
umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat
berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen
SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang
berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa
pimimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu
masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa
dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh
masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika
diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan
kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal
sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!
SESEORANG: Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang
ia raih kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena
terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan
sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan
seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa
menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan
badan. Ibaratnya cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika
pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang
terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya
harus katakan kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut
“Tindakan yang merugikan keuangan negara,” padahal penjelasan tentang perbuatan
yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya,
kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun
perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN.
Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka
itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anak-anak
muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu
usang. Pasti mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan
itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang
terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini
bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di
sekolah-sekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi
di sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga
lho, Yang Mulia.
SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI SEPASANG SEPATUNYA
SESEORANG: Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini:
Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu
lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih
beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam
ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon
pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus
dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat.
Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk
membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang
segenerasi saya dan Yang Mulia Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya
setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah.
Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.
MELEMPAR SEPATU KE ATAS.
SESEORANG: Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya
ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya
lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi
yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan
hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara
mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali
anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk
membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan
bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan
harus senantiasa terjaga. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya
kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi.
Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah
kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan
tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda
sekalian perlu tanyakan, lalu di mana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban
pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan
jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga
sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit
waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makluknya untuk mengumpat
sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya kecuali bagi mereka yang teraniaya.
Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang
telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup!
Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah
menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini
hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya
hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk
menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah
sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi bagi saya yang punya kejeniusan
dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu
mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena
terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi
hasilnya ruarrr biasaa!!!!
MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN MENARI
SESEORANG: Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah
melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira
gambarannnya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita
yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang.
Gendang gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia
Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja
dan tak perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget.
Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya
saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang
saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda
lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih
dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana
bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot.
Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya
main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.
BERHENTI MENARI
SESEORANG: Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius
kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi
yang punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian
juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah
arti sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan
jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah
pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki
berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda
dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain
memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus
jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi
kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil
saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau empat kali begitu.
Suatu saat pasti tersesat. Saya bisa saja memilih jadi da’i atau kiai tapi hal
itu tak saya lakukan. Karena saya percaya masing-masing punya azas kebebasan,
kesamaan hak dan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya
dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa
jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu
saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka.
Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan
polisi karena kebodohannya dan karena tak bisa menerapkan ajaran moral secara
benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya.
Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan?
SESEORANG: Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa
mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah
sebaliknya, mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau
di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi,
sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk
sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya
sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni
karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang.
Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada
saya. Memang itu ia lakukan secara diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara
terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada
penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang
pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya
iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena
karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa
korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan
ilmu korupsi? Jawabnya, belum.
SESEORANG: Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda
seorang koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor
itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau
pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa.
Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya
telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun.
Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya.
Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam,
amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan
baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan
parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup
berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen
kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa
kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan
dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan
nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena
anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi
anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ
sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya.
Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau,
kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan
hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal
orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda,
sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh
yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha
untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri
sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang
saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali
baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan
internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing,
hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang,
itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi
kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin
saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri.
Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas
praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu,
akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga
uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus
kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu
mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari
penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal
keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang
utama.
MUSIK PARODI MENGIRINGI.
SESEORANG: Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya
tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa
mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.
BERLAGAK SOPAN
SESEORANG: He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan
Biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan
itu. Bukan. Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok.
Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak
bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan
kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai
untuk tahu bagaiamana nikmatnya bermain chatting. He...he…he.. Sambil saya
belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk
jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal
yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat
pada anda. Bukan saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi
juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang
biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah
Mahatma Gandi? Tentu saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak
satupun yang buta urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya.
Sebetulnya saya malu. Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya
kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya
sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak
pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi
pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya
kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid.
Saya takut. Para pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan
dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya
merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai.
Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar
mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran.
Ironisnya, saya tak pernah diberikan kesempatan untuk mengajukan satu
pertanyaan saja. Apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku
bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang
memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu
yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu
itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal.
Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri
pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat
ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan,
saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa
pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya,
kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya
dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang
dan kasih uang apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya
yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika
Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan
panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk
mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.
TABLAU BEBERAPA SAAT
SESEORANG: Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan.
Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih
nikmat ketimbang jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan.
Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse.
Tentu saya tak perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju
seperti ini (mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos
rokok! Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor
simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse
tak butuh gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk
malam ini ia rupanya perlu membaca naskah karena lupa.
SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN MEMBACA NASKAH
SESEORANG: Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya
cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya.
Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini
betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan
hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang
yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya
karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun
saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu
kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu
menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia.
Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan?
Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden?
SESEORANG: Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan
lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti
mereka.
SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara?
SESEORANG: Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk
karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.
SESEORANG: Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan
merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang
kemari.
SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa. Tahu
apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing
dan kita tetap saja miskin.
SESEORANG: Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri.
Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum
sempurna.
SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya
pusing.
SESEORANG: Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah
ambil sikap bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini
urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja
tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah.
KEMBALI MENDEKATI PINTU. KEMUDIAN MENGINTIP KELUAR LAGI.
SESEORANG: Wow cantiknya dia! Pitzaaaaa!!!!
MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU SEBENTUK BABI-BABIAN. HINGGA SESUATU
MENGHENTIKANNYA.
SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu! Oh, tunggu sebentar ibu!
SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG KACAU
SESEORANG: Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu?
Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak
hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu.
Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi
sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu.
Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu
itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila
kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun
yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri
ini, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim
pelacur seperti ibu, tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari
fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti
bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun
menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong
kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup
sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak
sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga
borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini.
Sekalipun harus yatim piatu.
KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK MEMBAHANA. LAYAR
DITARIK KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR RUNTUH MENUTUP SEKUJUR TUBUH.
MENGGELIAT-GELIAT. BERTERIAK-TERIAK.
Tolong! Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut
kehabisan darah. Aku bisa mati percuma.
SELESAI
S. JAI pengarang kelahiran
Kediri, 4 Pebruari 1972. Menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga,
tahun 1998. Beberapa cerpennya masuk antologi Kami di Depan Republik dan
Istighotsah Tanah Garam. Keduanya diterbitkan Kelompok Seni Rupa Bermain
(KSRB). Novelnya Tanah Api pada bulan Mei 2004 telah diterbitkan penerbit LKiS,
Yogyakarta. Kini tinggal di dekat pegunungan Kapur Lamongan Selatan.
NB: Naskah ini pernah dipentaskan di Unair dan Untag Surabaya dan dimainkan
oleh F Aziz Manna bersama grup Teater Keluarga Surabaya.
0 komentar: